“Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga”
begitu tulis seorang teman dalam profil facebooknya. Ada perasaan haru yang
meluap-luap dalam hati Bunda, begitu membacanya. Teman Bunda ini dikenal
cantik, pintar dan memiliki pergaulan yang luas saat masih berpredikat mahasiswa,
siapa yang nyangka begitu menyandang gelar sarjana beliau lebih memilih profesi
Ibu Rumah Tangga sebagai basic pengabdian diri dan ilmunya dibanding profesi
laen yang (bagi kebanyakan orang) dianggap lebih prestisius dan gaya. Beliau
teman Bunda walau tidak betul-betul mengenalnya. *Plok (tepuk jidat sendiri) “Sungguh berbeda dengan diri ini yang cuma
niat mengasuh anak lewat tangan sendiri hanya pada masa “golden age”nya, yang
msh menyimpan obsesi untuk kembali menjadi kuli angka dalam lingkup yang lebih
profesional, masih berharap mendapatkan pencerahan dari brainstorming para ahli di ruang meeting, agar
tidak disindir orang menyia-nyiakan tanggung jawab profesi...sementara si kecil
yang sudah pintar berceloteh, selalu merengek,”adek icha sediiih ditinggal ayah
kerja, bunda jangan ninggalin adek icha juga...hiks..hikss”
Hidup memang menyajikan berbagai pilihan
untuk dilalui. Menjadi Ibu Rumah Tangga atau lebih tepatnya kita sebut “
fulltime mom” bagi wanita modern dewasa ini, utamanya mereka yang “well
educated” mungkin menjadi momok tersendiri. Bayangkan saja, seseorang yang
tadinya bergelut dengan aktivitas akademik dengan nuansa yang cukup
dinamis dan lingkungan yang serba intelek, tiba-tiba berada dalam rutinitas
yang nyaris stagnan,..kehidupan seolah menjadi lamban dengan hanya berkutat di
dalam rumah. Orang desa bilang hanya sekitar (maap) dapur, sumur dan kasur. Begitu
juga lingkungan barunya, yang belum cukup kondusif untuk mendukung pemberdayaan wanita, yang konon menjadi ikon
peradaban itu. Dengarlah celoteh yang kerap mampir di telinga:
" Ngapain disekolahin tinggi-tinggi
klo pada akhirnya cuma menjadi ibu rumah tangga aja. Siapapun juga bisa ngurus
anak, bersih2 rumah, ga usah sarjana..."
Inilah potret sempitnya pandangan
tentang peran seorang ibu rumah tangga. Yang dijawab dengan cukup lugas oleh
seorang teman Bunda yang laen,
“...Buat apa berpendidikan tinggi klo
pada akhirnya anaknya sendiri diasuh oleh orang yang tidak
berpendidikan...". Kalimat yang meluncur dalam sebuah obrolan ringan di
jejaring sosial facebook ini sungguh sangat menohok. Idiiih, ketahuan si bunda doyan
maen pesbuk. Sssttt!! soal yg satu ini suka bikin si kecil jeoleus, ga jarang
teguranpun meluncur dari bibir mungilnya,.."yee, bunda ni pesbuk telus....”hihihhi
)
Mungkin hanya ada segelintir orang (Bunda sangat bangga karena diantaranya ada
temen-temennya Bunda,...) yang menyadari betapa tanggung jawab dan peran
seorang ibu itu luar biasa besar, terutama dalam proses pendidikan bagi
generasi penerus. Sebagaimana diakui oleh seorang Kartini, yang diutarakan lewat sebuah surat kepada Prof. Anton
dan istrinya : “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini
kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Allah SWT menempatkan figur
ibu dalam posisi yang teramat mulia. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah
kisah : Suatu ketika ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah Saw meminta
izin untuk ikut andil berjihad bersama Rasulullah Saw, maka beliau bertanya,
“Adakah engkau masih memiliki ibu?”. Orang itu menjawab, “Ya, Masih. ” Kemudian
beliau bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu. Karena
sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya”.
Bahkan derajat seorang ibu
sebanyak tiga kali dibanding ayah. Seperti diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan
: Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. seraya bertanya, “Wahai
Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak untuk saya pergauli dengan
baik” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau
menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab,
“Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Baru beliau menjawab, “Bapakmu” (H.R.
Ahmad dan Abu Dawud
Seperti itulah kemuliaan
seorang ibu, karena begitu banyak hal yang sudah dilakukannya (yang tidak bisa
dilakukan oleh seorang ayah sekalipun) seperti mengandung, menyusui dan
mengasuh. Bukan berarti peranan seorang ayah diabaikan, ayah pun memiliki
peranan yang tidak kalah penting. Tetapi peranan ibu sungguh sangat dominan.
Proses pendidikan yang
diberikan oleh seorang ibu sudah dilakukan sejak sang bayi masih dalam
kandungan. Seorang ibu yang terbiasa mendengar murottal (tilawah
AL-Qur’an) insya Allah hal tersebut dapat didengar oleh sang bayi. Emosional
dan watak seorang ibu pun dapat ditularkan melalui perilaku seorang ibu selama
mengandung dan mengasuh. Dalam sebuah penelitian, bagi seorang ibu yang
mengandung selalu memiliki perasaan ingin marah-marah maka sang anak pun kelak
besar nanti akan memiliki penyakit jantung. Wallahu’alam.
Air Susu Ibu (ASI) yang
diberikan kepada sang anak pun memiliki peranan yang sangat penting sebagai
imunitas dan kecerdasan otak sang anak. Pendidikan pun dapat diberikan dengan
kontak mata yang terjadi antara ibu dan anak. Setiap saat, dimanapun dan kapanpun
proses pendidikan tersebut dapat dilakukan.
Seorang ibu memiliki
tanggung jawab besar dalam menciptakan profil generasi muda yang akan datang.
Dan untuk mewujudkannya, tidak lain hanyalah melalui wanita sholihah yang
berilmu, berakal dan bertaqwa yang dapat melakukannya. Ulama besar mengatakan,
bahwa wanita (khususnya seorang ibu) menjadi barometer baik buruknya sebuah
masyarakat. Rusaknya akhlaq wanita merupakan mata rantai yang saling terkoneksi
dengan dekadensi moral, kenakalan remaja, kriminalitas dan sederet permasalahan
sosial yang menyertainya
Dengan fokus tinggal di
rumah, atau minimal lebih banyak waktu di rumah, seorang ibu dapat lebih
optimal dalam mendidik anak-anak. Disini bukan berarti sang ibu terkekang dan
tidak memiliki kebebasan dalam berperan di ranah publik. Justru di sinilah
ladang amal seorang ibu, suatu saat nanti ibulah yang akan menuai hasilnya.
Bagi seorang ibu pekerja sekalipun, saya yakin hati dan pikirannya tetap
tertuju pada sang anak. Kebanyakan dari mereka sepulang dari bekerja tidak akan
langsung istirahat, tetapi mengurusi kebutuhan sang anak menjelang tidur atau
kebutuhan untuk esok hari. Itulah fitrah seorang wanita yang memiliki peran
seorang ibu. Setinggi apapun jabatan dan sebesar apapun penghormatan orang lain
kepadanya, ibu adalah ibu. Amanah beliau lebih besar berada di rumah. Amanah
yang diberikan langsung oleh Allah SWT, yang kelak akan diminta
pertanggungjawaban di yaumil hisab.
Selain daripada itu,
memiliki keahlian yang bermanfaat dalam bidang tertentu penting juga bagi
seorang ibu untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sarana memperbanyak amal
saleh untuk dapat dimanfaatkan kapan saja, sebagaimana yang ditulis Abdul Halim
Abu Syuqqah dalam bukunya “Kebebasan Wanita”, akan pentingnya menyediakan
pendidikan yang cocok bagi wanita dengan dua tujuan khusus, yaitu agar memiliki
kemampuan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak serta menguasai keahlian
tertentu yang dapat dimanfaatkan kapan saja.
Berikutnya akan ada satu lagi Bunda yang
inden untuk berada dalam barisan pegiat slogan,
"Kita Bangga dan Bahagia Menjadi Ibu Rumah Tangga yang Berpendidikan........"